Kamis, 16 Oktober 2008

Tugas Manajemen Humas Contoh Pembuatan Editorial

Mari Bangkit dari Krisis

MENGHADAPI krisis keuangan global yang berimbas besar ke dalam negeri, kita masih punya opsi untuk mencari solusi.

Bahkan para analis melihat, banyak solusi bisa ditempuh oleh pemerintah dalam rangka menyelamatkan kebangkrutan ekonomi yang sudah di depan mata. Namun, pemerintah terlebih dahulu harus mengakui bahwa sistem ekonomi pasar (neoliberalisme) ternyata memang tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia.

Dalam hal ini, sektor riil harus jadi prioritas dalam menggerakkan roda perekonomian dalam menghadapi krisis ekonomi. Bank Indonesia (BI) mesti membuat arahan bagi bank pelaksana dalam penyaluran kredit sehingga bank tidak lagi jor-joran menyalurkan kredit konsumsi. Bank harus tertib menyalurkan kredit sehingga lebih fokus pada kredit produktif.

Situasi sulit dewasa ini akan membuat bank kembali kepada core bisnisnya, yaitu fokus pada kredit modal kerja atau kredit investasi. Tingginya tingkat penyaluran kredit konsumsi sudah tidak sehat. Bahkan NPL (non-performing loan) kartu kredit sudah mencapai 15%. Ini sangat membahayakan bila dibiarkan tanpa aturan. Kelonggaran aturan ini dimanfaatkan oleh bank untuk mudah menyalurkan kredit konsumsi, bahkan disertai dengan janji (marketing gimmick) yang tidak masuk akal.

Penting juga seruan BI agar perbankan mengurangi kecepatan laju pertumbuhan kredit konsumtif dan tetap mengutamakan penyaluran kredit produktif, seperti kredit investasi dan modal kerja sehingga likuiditas perbankan tetap terjaga.

Pasti ada bank-bank yang akan terancam apabila harus menekan laju kredit konsumsi sebab bank tersebut hidup dari bisnis kredit konsumsi. Di lain pihak, bank BUMN dianggap aman sebab penyaluran kredit konsumsi relatif rendah. Penyaluran kredit konsumsi mencapai 30% dari total kredit yang mencapai sekitar Rp 700 triliun.

Kini kredit konsumsi sangat rentan dalam situasi ketidakpastian. Hal itu pernah terjadi tahun 2005, kredit konsumsi drop tinggal menjadi 5%. Oleh karena itu bank diminta tidak fokus pada kredit konsumsi.

Para ekonom menyatakan solusi yang bisa ditempuh antara lain dengan menurunkan harga BBM. Jika harga BBM turun maka sektor riil bergerak, harga-harga pangan juga akan turun, inflasi turun dan BI tidak harus menaikkan BI rate yang merugikan sektor riil.

Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pangan, energi, dan sandang dalam rangka kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung pada negara lain.

Para ekonom melihat, pemerintah Indonesia saat ini tidak mengerti atau gagap dalam memahami konstelasi ekonomi-politik internasional, di mana terjadi pergeseran kekuasaan adi daya ekonomi dari AS ke China. Negara Tirai Bambu itu menguasai hampir 20% surat utang AS sehingga saat ini China mendikte AS.

China dan India memang akan menggantikan peran AS sebagai negara adi daya ekonomi. Namun ironisnya, Indonesia justru menjadi kecundang dan semata-mata mendewakan paradigma neoliberalisme dalam kebijakan ekonomi.

Di tengah krisis global saat ini, pemerintah harus menyadari bahwa sektor perbankan tidak sanggup menyelamatkan sektor riil dalam jangka waktu singkat. Hal tersebut tercermin dari paradoks yang dilakukan BI dibandingkan bank sentral di negara lain, di mana BI justru menaikkan tingkat suku bunga acuannta, sedangkan bank sentral lainnya justru menurunkannya.

Akhirnya, kita menyaksikan bank dalam keadaan sekarang ini lebih baik menyelamatkan diri sendiri dari suku bunga yang begitu tinggi. Sungguh ironis, dan kita harus mencari terobosan ekonomi yang paling memungkinkan agar kepentingan publik yang diutamakan.*

Tidak ada komentar: